Sejarah Peradaban Islam “Dinasti Abbasiyah”

Standar

DINASTI ABBASIYAH

Makalah

Sejarah Peradaban Islam

Oleh:

I R M A

80200216023

 

 

Dosen Pemandu:

 

Prof. Dr. H. Ahmad Sewang, M.Ag.

Dr. Syamzan Syukur, M.Ag.

 

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2016

 BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar belakang

            Pada masa permulaan peradaban yang benar-benar membawa perubahan yang sangat besar, yang membawakan pula obor kesejahteraan dan kemanusiaan, Muhammad SAW. Ia merupakan nabi penutup daripada nabi dan rasul, serta sebagai rahmatanlil alamin bagi umat manusia dengan Islam sebagai ajaran agama yang baru. Sehingga Ia pula patut sebagai guru utama bagi pembaruan. Setelah nabi wafat ajaran tersebut disebarluaskan oleh para sahabat, tabiin dengan memegang panji Islam yang kokoh. Sehingga pasca nabi, ajaran Islampun juga disebarluaskan diseluruh penjuru dunia.

Dalam penyebaran syari’at islam pasca Rosulullah Muhammad SAW, terdapat beberapa babakan, yakni mulai langsung dari Khulafaur Rasyidin, yang dijalan kan oleh para sahabat dekat nabi (11-41 H) yakni dari Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affwan, Ali bin Abi Thalib. Serta babakan Islam pada masa klasik (keemasan) yang terdapat dua penguasa besar pada saat itu, yaitu pada masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada bahasan ini, kita akan membahas lebih luas tentang Dinasti Abbasiyah yang diusungkan dari kerabat Rasulullah, yakni keluarga Abbas.

  1. Rumusan masalah
  2. Bagaimana pembentukan dinasti Abbasiyah?
  3. Bagaimana kemajuan dinasti Abbasiyah?
  4. Bagaimana kemunduran dinasti Abbasiyah?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Pembentukan dinasti Abbasiyah

Menjelang akhir dinasti Umayyah, terjadi kekacauan yang bermacam-macam antara lain:

  1. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut Ali dan bani Hasyim pada umumnya.
  2. Merendahkan kaum muslimin non Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan
  3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[1]

Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Saw, yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim, orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi.[2]

Cikal bakal berdirinya dinasti Abbasiyah pada dasarnya di mulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-9) pada dinasti Umayyah. Hal ini dimungkinkan karena kebijaksanaan beliau dalam menciptakan iklim kondusif dalam kehidupan berdemukrasi. Akibatnya rakyat memiliki kebebasan untuk berekspresi, sehingga dimanfaatkan sejumlah oposan untuk memprogandakan dinasti Abbasiyah. Situasi ini diperparah setelah beliau wafat diganti oleh khalifah yangn kuallitasnya beradah dibawah kualitas Umar bin Abdul Aziz. Ketika dinasti Umayyah runtuh, maka berdirilah dinasti Abbasiyah

Salah satu faktor yang memuluskan pembentukan dinasti ini adalah kemampuan diplomasi mereka yang meyakinkan, bahwa mereka ini adalah

 

keluarga dekat Nabi Saw, lebih dari itu isu yang ditiupkan dalam kampanye adalah komitmen untuk kembali menegakkan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, ini dapat dilihhat dari pidato politik yang disampaikan oleh Abu Abbas al-Saffah.

Saat dibaiat, pada awal pidatonya al-Saffah memaparkan kesaliman dan penyelewengan yang dilakukan bani Umayyah. Kemudian dilanjutkan “sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi diidatangi kezaliman, pada saat kebaikan telah dating kepadamu tidak pula kehancuran setelah datangnya kebaikan”. Setelah memaparkan pidato politiknya, salah seorang pamannya berdiri dan berorasi “Demi Allah gerakan kami dilakukan tidak dilatarbelakangi oleh keinginan mengumpulkan harta, menggali sungai, membangun istana yang megah, dan menimbun emas dan perak, tetapi kami berbuat sebagai wujud protes atas sikap bani Umayyah yang telah merampok hak-hak kami, dan hak-hak keluarga Abi Thalib. Olehnya itu kami akan mengembalikan hak-hak tersebut dan kami bertekad untuk menegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah.” Ada tiga tempat sebagai sentral kegiatan menuju terbentuknya Daulah bani Abbasiyah yaitu Humaimah, Khufah dan Khurasan. Pada kawasan Humaimah bermukim keluarga bani Hasyim yang terdiri dari pendukung keluarga Abbas dan ‘Ali ra. Sementara di Khufah bermukim para penganut Syi’ah yang sangatt mengagungkan ‘Ali sehingga selalu mendapatkan perlakuan tidak bersahabat, bahkan ditindah oleh bani Umayyah. Lain lagi di Khurasan yang penduduknya pemberani dan memiliki postur tubuh yang besar, tidak mudah terpengaruh informasi yang tidak jelas.

Sejarawan lain mengatakan bahwa pendirian dinasti Abbasiyah di mulai dengan gerakan revolusioner tersebut sebagai wujud kekecewaan rakyat khususnya kelompok Mawali. Kekecewaan tersebut akibat perlakuan tidak adil yang dilakukan dinasti Umayyah, diperparah lagi timbulnya desintegrasi antara suku dan etnis dalam masyarakat, sehingga masyarakat mengharapkan sosok pemimpin yang baru.

 

Hasan Ibrahim Hasan, secara khusus mengedepankan dua faktor yang menjadi penyebab berdirinya dinasti Abbasiyah, antara lain:

  1. Sikap politik yang ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz, yang meletakkan dasar demokrasi kepada penduduk sehingga melahirkan iklim kondusif untuk berbeda pendapat yang pada akhirnya melahirkan kelompok oposisi tanpa tekanan dari pihak khalifah.
  2. Pertentangan kelompok Kisaniyah dan ‘Alawiyah di bawah pimpinan Abu Hasyim bin Mahmud al-Hanifiah kepada bani Umayyah, Abu Hasyim, menemui Hisyam bin Abd al-Malik (Khalifah ke-11 bani Umayyah). Pada pertemuan tersebut Abu Hisyam diracun oleh Khalifah Hisyam, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Abu Hasyim pergi menemui ‘Ali bin Abdillah bin Abbas dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Karrena peristiwa tersebut kedua kelompok (Kisanyiah dan Alawiyah) bersatu dan menentang dinasti Umayyah yang berimbas lahirnya gerakan Hasyimiah sebagai gerakan lahirnya dinasti Abbasiyah[3]

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Abbasiyah dan dipenjarakan di Haran dan kemudian dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada Abul Abbas menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan memerintahkan pindah ke Khufa. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segera Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Khufa diiringi para pembesar Abbasiah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.

Penguasa Umayyah Yazid bin Umar bin Hubairah di Khufa berhasil ditaklukan oleh Abbasiyah, Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad. Ia melarikan diri hingga ke Fustat Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah al-Fuyyum tahun 132 H/750 M. di bawah pimpinan Salih bin Alli, paman Abul Abbas yang lain.[4]

  1. Kemajuan dinasti Abbasiyah

Berdirinya dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya Abul Abbas al-Shaffah dengan kekuasaan awalnya di Khufah. Bani Abbasiyah mewarisi imperium yang besar dari bani Umayyah, mereka memungkinkan dapat mencapai hasil lebih banyak karena landasannya sudah dipersiapkan oleh bani Umayyah.

Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi empat periode:

  1. Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H (750 M), sampai meninggalnya khalifah al-Watsiq 232 h (847 M)
  2. Masa Abbasiyah II, yaitu khalifah al-Mutawakkil pada tahun 232 H (847 M) sampai berdirinya daulah Buwaihiya di Baghdad pada tahun 334 H (946 M)
  3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H (946 M) sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M)
  4. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M) sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H (1258 M).[5]

Sebelum Abul Abbas al-Shaffah meninggal, ia sudah mewasiatkan penggantinya, yakni saudaranya, abu Ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakannya. Sistem pengumuman putra mahkota ini mengikuti cara dinasti Umayyah. Para khalifah Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, di antaranya:

1.Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
2.Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
3.Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
4.Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
5.Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
6.Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
7.Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
8.Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
9.Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
10.Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
11.Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12.Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
13.Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14.Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15.Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16.Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17.Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18.Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)

19.Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
20.Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
21.Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
22.Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
23.Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
24.Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
25.Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
26.Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
27. Al Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
28. Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
29. Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
30. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
31. Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160M)
32. Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
33. Al Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
34. An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
35. Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
36. Al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
37. Al Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.[6]

Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium, dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[7]

Dasar-dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tuju khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M, al-Hadi (785-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mum (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulao meningkat dan peningkatan dari sector pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan, Bashrah menjadi pelabuhan penting.

Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalidah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, permandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-bukku asing digalakkan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Abbasiyah sangat kuat.[8]

Pada awalnya ibu kota Negara adalah Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu al-Manshur memindahkan ibu kota Negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad pada tahun 762 M. Al-Manshur sangat teliti cermat dan teliti, sebelum ibu kota dipindahkan ia menugaskan beberapa ahli untuk meneliti keadaan daerah tersebut.

Dengan demikian , dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. Bidang Agama
  2. Fiqh:
  • Imam Abu Hanifah (700-767 M).
  • Imam Malik (713-795 M).
  • Imam Syafi’i (767-820 M).
  • Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).
  1. Ilmu Tafsir:
  • Ibnu Jarir Ath-Thabari.
  • Ibnu Athiyah al-Andalusi.
  • Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
  1. Ilmu Hadits:
  • Imam Bukhari (194-256 H)
  • Imam Muslim (w. 261 H)
  • Ibnu Majah
  • Abu Dawud
  • Imam an-Nasai
  • Imam Baihaqi
  1. Ilmu Kalam:
  • Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi
  • Washil bin Atha, Abu Husail (w.849 M)
  • Al-Juba’i
  1. Ilmu Bahasa:
  • Imam Sibawaih (w.183 H)
  • Al-Kiasi
  • Abu Zakaria al-Farra
  1. Bidang Umum
  2. Filsafat
  • Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M) Karyanya lebih dari 231 judul.
  • Abu Nasr al-Farabi (961 M) Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristotele.
  • Ibnu Sina (980-1037 M) , terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
  • Ibnu Bajah (w.581 H)
  • Ibnu Tufail (w.581 H) penulis buku novel filsafat Hayy bin Yaqdzan.
  • Al-Ghazali (1058-1111 M) Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
  • Ibnu Rusyd (1126-1198 M) Ia seorang filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
  1. Ilmu kedokteran
  • Abu Zakariah Yahya bin Mesuwaih (w.242 H) seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundishapur Iran.
  • Abu Bakar ar-Razi (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
  • Ibnu Sina(Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
  • Ar-Razi, adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles (campak), Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
  1. Matematika

Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.

Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.

  1. Farmasi
  • Ibnu Baithar karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
  1. Ilmu Astronomi
  • Abu Mansur al-Falaki (w.272 H) Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
  • Jabil al-Batani (w.319 H) Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
  • Raihan al-Biruni (w.440 H) Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
  1. Geografi
  • Abu Hasan al-Mas’udi (w.345 H/956 M) seorang penjelajah yang mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
  • Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
  • Ahmad el-Yakubi penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
  • Abu Muhammad al-Hasan al-Hamadani (w.334 H/946 M) karyanya berjudul Sifatu Jazirah Al-Arab.
  1. Sejarah
  • Ahmad bin al-Ya’kubi (895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah).
  • Ibnu Ishaq
  • Abdullah bin Muslim al-Qurtubah (w.889 M)
  • Ibnu Hisyam
  • Ath-Thabari (w.923 M)
  • Al-Maqrizi
  • Al-Baladzuri (w.892 M)
  1. Sastra
  • Abu Nawas, seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
  • An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia. [9]
  1. Kemunduran dinasti Abbasiyah

Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawah sungai Tigris, setelah kota itu dibumuhanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku-buku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M. kota ini diserang juga oleh pasukan Timur  Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh tentara Kerajaan Safawi.

Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:

  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.[10]

Sedangkan menurut Badri Yatim, di antara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:

  1. Persaingan Antar Bangsa

Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.

  1. Kemerosotan Ekonomi

Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.

  1. Konflik Keagamaan

Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.

  1. Ancaman dari luar

Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.

  • Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
  • Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan Mongol.[11]

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

      Hasan Ibrahim Hasan, secara khusus mengedepankan dua faktor yang menjadi penyebab berdirinya dinasti Abbasiyah, antara lain:

  1. Sikap politik yang ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz, yang meletakkan dasar demokrasi kepada penduduk sehingga melahirkan iklim kondusif untuk berbeda pendapat yang pada akhirnya melahirkan kelompok oposisi tanpa tekanan dari pihak khalifah.
  2. Pertentangan kelompok Kisaniyah dan ‘Alawiyah di bawah pimpinan Abu Hasyim bin Mahmud al-Hanifiah kepada bani Umayyah, Abu Hasyim, menemui Hisyam bin Abd al-Malik (Khalifah ke-11 bani Umayyah). Pada pertemuan tersebut Abu Hisyam diracun oleh Khalifah Hisyam, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Abu Hasyim pergi menemui ‘Ali bin Abdillah bin Abbas dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Karrena peristiwa tersebut kedua kelompok (Kisanyiah dan Alawiyah) bersatu dan menentang dinasti Umayyah yang berimbas lahirnya gerakan Hasyimiah sebagai gerakan lahirnya dinasti Abbasiyah[12]

Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[13]

Hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah:

  1. Kemerosotan Ekonomi
  2. Konflik Keagamaan
  3. Ancaman dari luar
  4. Persaingan Antar Bangsa

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009

Dahlan, M, Sejarah Peradaban Islam, Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013

Karim , M.Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publusher

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik ,Cet V, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011

 

[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ,Cet V, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015)h.47

[2] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher) h.143

[3]M  Dahlan, Sejarah Peradaban Islam, (Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013) h.58

[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,Cet III,(Jakarta: Amzah, 2013)h.139

[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,Cet III,(Jakarta: Amzah, 2013)h.141

[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 144.

[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 54.

[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),h.53

[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h.148

[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h.155

[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),h. 80-85.

[12]M  Dahlan, Sejarah Peradaban Islam, (Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013) h.58

[13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 54.

Satu tanggapan »

Tinggalkan komentar