Category Archives: Uncategorized

SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM “Jabariyah dan Qadariyah”

Standar

QADARIYAH DAN JABARIYAH

Makalah

Sejarah dan Pemikiran dalam Islam

Oleh

I R M A

80200216023

 

Dosen Pemandu:

Prof. Darussalam, M.Ag.

Dr. H. Muhammad Amri, Lc. M.Ag.

 

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2016


BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang

Pembahasan  ilmu kalam sebagai hasil pengembangan masalah keyakinan agama belum muncul di zaman Nabi. Umat di masa itu menerima sepenuhnya penyampaian Nabi. Mereka tidak mempertanyakan secara filosofis apa yang diterima itu. Kalau terdapat kesamaran pemahaman, mereka langsung bertanya kepada Nabi dan umat pun merasa puas dan tenteram. Hal itu berubah setelah Nabi wafat. Nabi tempat bertanya sudah tidak ada. Pada waktu itu pengetahuan dan budaya umat semakin berkembang pesat karena terjadi persentuhan dengan berbagai umat dan budaya yang lebih maju. Penganut Islam sudah beragam dan sebagiannya telah menganut agama lain dan memiliki kebudayaan lama. Hal-hal yang diterima secara imānī mulai dipertanyakan dan dianalisa.

Tuhan adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?[1]


  1. Rumusan masalah
  2. Apa pengertian jabariah dan qadariah?
  3. Apa yang melatarbelakangi munculnya aliran jabariah dan qadariah?
  4. Bagimana argumen aliran Jabariah dan Qadariah?

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Jabariah dan Qadariah
  2. Pengertian Jabariah

Kata jabariyyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti “memaksa”.kalau dikatakan bahwa Allah mempunya sifat Al Jabbar (dalam mubalagah), itu artinya Allah Maha Memaksa.[2] Di dalam Al-Munjid dijelaskan bahwa nama jabariyyah berasal dari kata jabara yang mengandung ari memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk muba artlagah). Itu artinya Allah Maha Memaksa. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, jabariyyah disebut fatalism, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula[3]

Kemudian nantinya paham Jabariyah yang dikemukakan oleh Jaham Ibn Safwan itu adalah paham jabariyah ekstrim. Sementara itu paham jabariyah

 

yang moderat, seperti yang diajarkan oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar bin Amr.[4]

  1. Pengertian Qadariah

Qadariyyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya. Ia dapat berbuat segala sesuatu atau meninggalkannyaatas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang member penekanan atas kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[5]

Harun nasution dalam bukunya menjelaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada ketetapan Tuhan, dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan free will dan free act.[6]

  Latar Belakang munculnya Jabariah dan Qadariah

  1. Latar belakang munculnya Jabariyah

Aliran Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya aliran Qadariah, yang daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Aliran Jabariah timbul di Khurasan Persia, dan Qadariyah di Irak.[7]

Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’ad bin Dirham kemudian di sebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam. Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekertaris Suraih bin al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawaan kekuasaan Bani Umayyah. Namun dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirham.[8]

Jahm bin Shafwan terkenal sebagai orang tekun dan rjin menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya, tidak ada ikthiar dan tidak ada kasab. Semua perbuatan manusia itu terpaksa di luar kemauannya.[9]

Masuknya pemeluk-pemeluk agama lain ke dalam Islam yang jiwanya tetap dipengaruhi oleh unsur-unsur agama mereka yang telah mereka tinggalkan, lahirlah kebebasan berbicara tentang masalah-masalah yang didiamkan oleh ulama salaf. Segolongan umatmuslim memperkatakan masalah qadar, seperti Ma’bad Al-Juhani, Ghailan Ad Dimasyiqy, dan Ja’ad Ibn Dirham. Mereka inilah tokoh-tokoh Qadariah yang pertama.[10]

Mengenai munculnya aliran al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.[11]

Harun Nasution dalam hal ini menjelaskan bahwa bangsa Arab dengan keadaan yang bersifat serba sederhana dan jauh dari pengetahuan, terpaksa menyesuaikan hidup mereka dengan suasana padang pasir, dengan panasnya yang terik serta tanah dan gunungnya yang gundul, Dalam dunia yang demikian, mereka tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Mereka merasa dirinya lemah dan tak berkuasa dalam menghadapi kesukaran hidup yang timbul. Dalam kehidupan banyak bergantung pada kehendak natur.[12]

Sebenarnya benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum tokoh-tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.[13]

  1. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi saw. melarang mereka memperdebatkan persoaalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penefsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
  2. Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu Khalifah Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, huku an potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
  3. Khalifah Ali bin Abi Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Siffin) itu terjadi qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya.” Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadhar itu bukan paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadhar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas perlakuan dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.
  4. Para pemerintah Daulah Bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah.

Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit paham Jabariyah telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola piker atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan dan di kembangkan Al-Husain bin Muhammad, An-Najjar dan Ja’d bin Dirham.

Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen mazhab Yacobit. Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham Jabariyah akan muncul juga di kalangan umat Islam.[14]

  1. Latar belakang munculnya Qadariyah

Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M. dipimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Bisri dan Ja’ad bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705).[15]

Menurut Ahmad Amin, ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah  pertama kali muncul oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernahh berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.

Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad amin, member informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud , sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan. Faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik yang ditulis oleh Hasan Al-Basri sekitar 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di Madinah, tetapi pada tahun 657., pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah ia seorang Qadariyah atau bukan masih menjadi perdebatan, namun berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik atau buruk.[16]

Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti yang sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini. Karena penganut Qadariyah saat itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang Kristen yang bekerja di istana khalifah.[17]

Jika ditinjau dari segi politik, latar belakang timbulnya Qadariyah ini sebagai isyarat menentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggap kejam. Apabila paham Jabariyah menganggap bahwa Khalifah Bani Umayyah membunuh orang, hal itu karena sudah ditakdirkan Allah swt. maka paham Qadariyah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah swt. itu adil Allah akan menghukum orang yang bersalah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik.

Pada masa itu ajaran Qadariyah mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah segera mengambil tindakan dengan alasan ketertiban umum. Ma’bad al-Juhni dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dia sendiri dihukum bunuh diri di Damaskus (80 H/690 M).oleh al-Hajj Gubernur Basrah, karena ajaran-ajarannya[18]

  1. Ajaran Qadariyah dan Jabariyah

Baik Qadariyah maupun Jabariyah memiliki argumen-argumen yang dengan argumen tersebut, mereka mempertahankan paham dan aliran mereka masing-masing. Argumen-argumen tersebut ada yang berdasarkan nash-nash atau dalil-dalil naqli dan berbagai argumen yang bersifat rasional atau dalil-dalil ‘aqli.

  1. Jabariyah

      Paham jabariyah memandang manusia tidak dalam keadaan terpaksa. dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Penyebar pertama ajaran ini memandang manusia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Ia tidak mempunyai daya, kekuasaan, kemauan, dan pilihan. Manusia berbuat secara terpaksa . Allah-lah pencipta tindakannya. Jabariyah memandang manusia berada dalam pposisi yang sangat lemah. Perbuatan-perbuatan manusia adalah hal-hal yang harus dilakukan dan dilalui oleh manusia tanpa diperlukan mereka memainkan peran. Bahkan diakui secara tegas bahwa perbuatan manusia merupakan ciptaan Tuhan dan manusia hanya tempat berlakunya perbuatan dan ciptaannya[19]

Golongan Jabariah membantah pendapat bahwa seorang hamba, bebas melakukan perbuatan-perbuatannya yang ditimbulkan oleh ilmu dan kemauannya. Golongan jabariah berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendak perbuatannya tak ubahnya seperti ranting-ranting pohon kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka.[20]

            Jahm bin Shofwan berpendapat mengenai paham Jabariyah adalah:

Manusia tidak mempunyai qadrat untuk berbuat sesuatu, dan dia tidak mempunyai “kesanggupan”Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunya qodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhan-lah yang menciptakan perbuatan-perbuatan pada diriny, seperti ciptaan-ciptaan Tuhan pada benda-benda mati. Memang perbuatan-perbuatan itu dinisbatkan  kepada orang tersebut, tetapi itu hanyal nisbah majazi, secara kiasan, sama halnya kalau kita menisbahkan sesuatu perbuatan kepada benda-benda mati, misalnya dikatakan “pohon itu berbuah”atau “air mengalir”, “batu bergerak”, “Matahari terbit dan tenggelam”. “langit mendung dan menurunkan hujan”.”bumi bergoncang dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, dan lain sebagainya. Pahala dan siksa pun adalah paksaan, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan”. Jaham berkata: “Apabila paksaan itu telah tetap maka taklif adalah paksaan juga ”.[21]

 

Jaham dan kawan-kawannya memperkuat pendapat mereka tentang “paksaan” itu dengan mengemukakan ayat-ayat yang mereka pandang dapat memperkuatnya, misalnya:

  1. Al-Qashas: 58

öNx.ur $uZò6n=÷dr& `ÏB ¥ptƒös% ôNtÏÜt/ $ygtGt±ŠÏètB ( šù=ÏFsù öNßgãYÅ3»|¡tB óOs9 `s3ó¡è@ .`ÏiB óOÏdω÷èt/ žwÎ) Wx‹Î=s% ( $¨Zà2ur ß`øtwU šúüÏO͑ºuqø9$# ÇÎÑÈ

  1. Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang Telah kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka Itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. dan kami adalah Pewaris(nya).[22]

 

  1. Yunus: 99

öqs9ur uä!$x© y7•/u‘ z`tBUy `tB ’Îû ÇÚö‘F{$# öNßg=à2 $·èŠÏHsd 4 |MRr’sùr& çn̍õ3è? }¨$¨Z9$# 4Ó®Lym (#qçRqä3tƒ šúüÏZÏB÷sãB ÇÒÒÈ

  1. Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?[23]

 

  1. Al-Baqarah: 7

zNtFyz ª!$# 4’n?tã öNÎgÎ/qè=è% 4’n?tãur öNÎgÏèôJy™ ( #’n?tãur öNÏd̍»|Áö/r& ×ouq»t±Ïî ( öNßgs9ur ë>#x‹tã ÒOŠÏàtã ÇÐÈ

  1. Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat.[24]

 

  1. Hud: 34

Ÿwur ö/ä3ãèxÿZtƒ ûÓÅÕóÁçR ÷bÎ) ‘NŠu‘r& ÷br& yx|ÁRr& öNä3s9 bÎ) tb%x. ª!$# ߉ƒÌãƒ br& öNä3tƒÈqøóム4 uqèd öNä3š/u‘ Ïmø‹s9Î)ur šcqãèy_öè? ÇÌÍÈ

  1. 34. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika Aku hendak memberi nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.[25]

 

  1. Al-An’am 111

* öqs9ur $oY¯Rr& !$uZø9¨“tR ãNÍköŽs9Î) spx6Í´¯»n=yJø9$# ÞOßgyJ¯=x.ur 4’tAöqpRùQ$# $tR÷Ž|³ymur öNÍköŽn=tã ¨@ä. &äóÓx« Wxç6è% $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sã‹Ï9 HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# £`Å3»s9ur öNèduŽsYò2r& tbqè=ygøgs† ÇÊÊÊÈ

  1. Kalau sekiranya kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang Telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui.[26]

 

  1. Ash-Shaffat 96

ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ

  1. Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.[27]

 

  1. Al-Anfal 17

öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |Mø‹tBu‘ øŒÎ) |Mø‹tBu‘  ÆÅ3»s9ur ©!$# 4’tGu‘ 4 u’Í?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$# ìì‹ÏJy™ ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ

  1. Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.[28]

 

  1. Al-Insan 30

$tBur tbrâä!$t±n@ HwÎ) br& uä!$t±o„ ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJ‹Å3ym ÇÌÉÈ

  1. Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[29]

 

Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun ajarannya telah tiada.

Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauaannya sendiri. Misalnya, kalau seorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi perbuatan yang timbulkan karena qadha dan qadhar Tuhan yang menghendaki demikian. Di antara tokoh-tokoh Jabariyah ekstrim sebagai berikut:[30]

  1. Jahm bin Shafwan

Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham binShafwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Khufah, ia adalah seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia menjabat sebagai sekertaris Harts bin Surais. Seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyahdi Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.

Pendapat Jahm yang berkaitan dengan masalah teologi antara lain:

  1. Manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
  2. Surga dan neraka tidak kekal.
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati.
  4. Kalam Tuhan adalah mahluk. Allah Mahasuci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
  5. Ja;d bin Dirham

Merupan seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah tampak pikiran-pikirannya yang Kontroversial. Bani Umayyah menolaknya, kemudian Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengann Jahm, serta mentrasfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.

Adapun yang menjadi doktrin pokok ajaran Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm, menjelaskkan sebagai berikut:

  1. Al Quran adalah makhluk. Oleh karena itu, ia baru. Sesuatu yang baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
  2. Allah tidak mempunyai sifat serupa dengan makhluk sperti berbicara, melihat dan mendengar.
  3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya[31]

Berbeda dengan Jabariyah ekstrim. Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia baik perbuatan jahat atau baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia[32]

Yang termasuk dalam Jabariyah moderat adalah:

  1. An-Najjar

Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Husainiyah. Berikut pendapat-pendapatnya:

  1. Tuhan menciptakan segala perbuattan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam hal ini tidak lagi seperti wayang yang geraknya bergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri menusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
  2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. akan tetapi An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
  3. Adh-Dhirar

Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan yang dikemukakakn oleh An-Najjar yaitu:

  1. Suatu perbuatan dapat ditimbulakan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan saja, tetapi juga oleh manusia itu sendiri. Manusia mempunyai daya dalam mewujudkan perbuatannya.
  2. Masalah ru’yat (melihat Tuhan Di akhirat), ia mengatakan bahwa tuhan dapat dilihat melalui indera dengan indera keenam.

Ia juga menegaskan bahwa hukum yang diambil setelah Nabi adalah ijtihad. Tetapi mereka menolak hadis ahad sebagai sumber hukum.

  1. Qadariyah

Dalam kitab al-Milal wa an-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan pembahasan Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara keduanya kurang jelas. Karena kedua aliran ini percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

Menurut Ghalilan, manusia berkuasa atas perbuatannya, manusia sendiri yang melakukan perbuatan baik dan buruk atas kemauannya sendiri, manusia merdeka dalam tingkah lakunya. Di sini tidak terdapat paham bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.[33]

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah semua tingkah laku manusia berasal dari dirinya sendiri, dan ia berhak mendapat pahala dan hukuman atas perbuatannya sendiri, ganjaran surga dan neraka bukan takdir Tuhan, melainkan balasan dari perbuatan diri sendiri.

Kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarka  segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Adapun ayat-ayat yang dijadikan acuuan kaum ini adalah:

  1. Al-Kahfi 29

 

È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4 !$¯RÎ) $tRô‰tGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·‘$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ϊ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o„ (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. “Èqô±o„ onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$y™ur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ

  1. Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”. Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.[34]

 

 

 

  1. Ali-Imran 165

!$£Js9urr& Nä3÷Gu;»|¹r& ×pt7ŠÅÁ•B ô‰s% Läêö6|¹r& $pköŽn=÷VÏiB ÷Läêù=è% 4’¯Tr& #x‹»yd ( ö@è% uqèd ô`ÏB ωYÏã öNä3Å¡àÿRr& 3 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« ֍ƒÏ‰s% ÇÊÏÎÈ

  1. Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[35]

 

  1. Ar-Ra’d 11

¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒy‰tƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts† ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr’Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#u‘r& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqߙ Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ

  1. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[36]

 

QS.An-nisa 111

`tBur ó=Å¡õ3tƒ $VJøOÎ) $yJ¯RÎ*sù ¼çmç7Å¡õ3tƒ 4’n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR 4 tb%x.ur ª!$# $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÊÈ

  1. Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.[37]

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Aliran Jabariyah merupakan aliran yang menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). Terbagi menjadi dua yakni jabariyah ekstrim dan moderat.disebut sebagai jabariyah ekstrim adalah karena pendapatnya bahwa perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari manusia senditi, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.sedangkan disebut sebagai jabariyah moderat adalah karena pendapatnya bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu baik atau buruk, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya.

Aliran Qadariyah merupakan suatu aliran yang mempercayai bahwasannya segala tindakan manusia tidak di intervensi oleh Tuhan, manusia adalah pencipta segala perbuatannya, dapat berbuat/meninggalkan sesuatu atas kehendaknya. Doktrin-doktrin aliran qadariyah diantaranya adalah bahwa manusia berkuasa atas perbuatannya. Manusia melakukan baik ataupun buruk atas kehendak dan daya nya sendiri.

Kedua aliran diatas sagatlah bertolak belakang dalam setiap pendapat dan doktrin-doktrinnya, dan masing-masing memiliki landasan-landasan dari Al-Qur’an yang sangat mereka yakini kebenarannya.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Nasir Sahilun . Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Abduh Syeh Muhammad, Risalah tauhid (terjemahan oleh K.H. Firdaus A.N.). Jakarta: Bulan Bintanng, 1979.

Ash-Shiddieqy  Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Cet. VI, Jakarta : Bulan Bintang. 1992.

Departemen Agama Repoblik Indonesia, AlQur’an dan Terjemahnya, Bandung: PT Diponegoro, 2008

Nasution Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 2013.

Nata Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, Gowa: Alauddin University Press, 2014.

Rahman Jalaluddin , Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Rozak Abdul, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, Bandung: Lingkar Selatan, 2007.

 

 

 

 

 

[1]Harun Nasutin,  Teologi Islam Aliran-alliran Sejarah Anallisa Perbandingan, (Jakarta. UI-Press; 2013). h.33

[2] Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, (Gowa: Alauddin University Press, 2014), h. 114

[3] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.63

[4]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Cet. III; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 42.

[5] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.63

[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h.33

[7] Sahilun. A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 143

[8] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.64

[9] Sahilun. A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 143

[10] Hasbi Ash-Shiddieqy. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam. Cet. VI (Jakarta : bulan bintang. 1992), h.9

[11] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.64

[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h, 34

[13] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.64

[14] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.64

[15] Sahilun . A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 139

[16] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.71

[17] Abdul Rozak, Rosihan Anwar. Ilmu Kalam, (Bandung: Lingkar Selatan, 2007), h.72

[18] Sahilun. A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 140

 

[19] Jalaluddin Rahmman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 88

[20] Syeh Muhammad Abduh, Risalah tauhid (terjemahan oleh K.H. Firdaus A.N.). (Jakarta: Bulan Bintanng, 1979), h. 46

[21] Sahilun. A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 145

[22]Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h. 392

[23] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h. 220

 

[24] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h. 3

 

[25] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h. 225

[26] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.142

[27] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.449

[28] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.179

[29] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.580

[30] Sahilun. A. Nasir. Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 67

[31] Nurlaela Abbas, Ilmu Kalam Sebuah Pengantar, (Gowa: Alauddin University Press, 2014), h.118

[32] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h.36

[33] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2013), h.35

[34] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.297

[35] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.71

[36] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.250

[37] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.96

ULUMUL QUR’AN “Nudzulul Qur’an”

Standar

NUZULUL QUR’AN

Makalah

ULUMUL QUR’AN

Oleh

I R M A

80200216023

Dosen Pemandu:

Dr. H. Aan Farhani, Lc., M.Ag.

Dr. H. Baharuddin Hs, M.Ag.

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2016

 

 BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Al-Qur’an diturunkan dalam tempo 22 tahun, 2 bulan, 22 hari, yaitu mulai malam 17 Ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji Wada’ tahun 63 dari kelahiran nabi atau tahun 10 H.[1]

Allah Swt menurunkan al-Qur’an kepada Rasulullah Muhammad Saw untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya al-Qur’an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan penghuni bumi. Turunnya al-Qur’an pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi yang terdiri dari Malaikat-Malaikat akan kemuliaan umat Muhammad Saw.

Turunnya al-Qur’an yang kedua kalinya secara bertahap. Rasulullah tidak menerima risalah agung ini sekaligus dan kaumnya pun tidak puas dengan risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka.

Olehnya itu wahyupun turun berangsur-angsur untuk menguatkan hati rasul dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmat-Nya.

 Rumusan Masalah

  1. Apa pengertian nuzulul Qur’an?
  2. Bagaimana proses turunnya al-Qur’an?
  3. Apa hikmah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur?
  4. Apa faedah dari segi pendidikian terkait turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur?

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Nuzulul Qur’an

Nuzulul Qur’an terdiri dari dua kata, yakni Nuzul dan al-Qur’an. Kata nazala di dalam bahasa Arab berarti “meluncur dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.” Nuzul juga berarti singgah atau tiba ditempat tertentu.Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim dalam bukunya Nuzul tidak hanya memiliki dua makna, dua makna lainnya adalah at-Tartiibu  (tartib atau teratur), al-Ijtimaa’u (pertemuan), dan yang terakhir nuzul berarti turun secara berangsur dan terkadang sekaligus.[2]

Dalam ensiklopedia Islam disebutkan bhwa ada dua makna tentang Nuzulul Qur’an. Pertama, Nuzulul Qur’an diartikan dengan makna konotatif dan terambil dari kata nazzala-yunazzilu, yaitu turun secara berangsur-angsur. Kedua, Nuzulul Qur’an diartikan dengan donotatif dan terambil dari kata anzala-yunzilu, yaitu menurunkan.[3] Sehingga dapat dikatakan Nuzulul Qur’an sebagai peristiwa proses turun atau atau diturunkannya al Qur’an.

  1. Proses turunnya al-Qur’an

 Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi ‘Ulumi al-Qur’an membagi proses turunnya al-Qur’an dalam tiga cara, yaitu:

  1. Al-Qur’an turun sekaligus dari Lauh al-Mahfuzh ke langit dunia pada malam lailatul Qadar, dan kemudian turun kepada Nabi Muhammad Saw secara bertahap.
  2. Al-Qur’an diturunkan kelangit dunia setiap tahun pada malam Lailatul Qadar, kemudian diturunkan secara bertahap kepada Nabi. Hal ini berarti setiap tahun pada malam Lailatul Qadar Allah Swt menurunkan al-Qur’an ssesuai dengan kadar kebutuhan dan tuntutan yang terjadi pada tahun-tahun tersebut.
  3. Allah Swt menjadikan malam Lailatul Qadar sebagai awal pembuka diturunkannya al-Qur’an secara bertahap.[4]

Secara redaksional, ada beberapa firman Allah Swt yang secara lahir mengindikasikan bahwa al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah Saw, secara sekaligus. Beberapa ayat di antaranya:

  1. Al-Baqarah 185

ãöky­ tb$ŸÒtBu‘ ü“Ï%©!$# tA̓Ré& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# ”W‰èd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3“y‰ßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4

  1. (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).[5]

 

  1. Al-Qadar 1

!$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& ’Îû Ï’s#ø‹s9 ͑ô‰s)ø9$# ÇÊÈ

  1. Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan[6]

 

  1. Ad-Dukhaan 3

!$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& ’Îû 7’s#ø‹s9 >px.t»t6•B 4 $¯RÎ) $¨Zä. z`ƒÍ‘É‹ZãB ÇÌÈ

  1. Sesungguhnya kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.[7]

 

Adapun berkenaan dengan ketiga ayat di atas para ulama berusaha mencermatinya, di antaranya:

Pertama, al-Qathan mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara ke tiga ayat tersebut. Malam yang diberkati, menurutnya adalah malam Lailatul Qadar, pada bulan Ramadhan. Hanya pada zahirnya saja ada pertentangan dengan kehidupan Rasulullah, di mana al-Qur’an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun.[8]

Kedua, Muhammad Ali Ash-Shobuni menyatakan bahwa ketiga ayat tersebut bahwa al-Qur’an diturunkan dalam satu malam yang diberkahi, yaitu malam Lailatul Qadar. Hal ini memberikan informasi kepada manusia bahwa al-Qur’an hanya diturunkan sekaligus (satu kali saja) ke Baitul ‘Izzah di langit. Ini artinya al-Qur’an diturunkan oleh Allah sekaligus ke Baitul ‘Izzah, jadi tidak dua atau tiga kali turun.

            Ketiga, Ibnu Abbas dan jumhur ulama menyatakan bahwa yang dimaksud turun oleh ketiga ayat tersebut adalah turunnya secara sekaligus ke Baitul ‘Izzah di langit dunia yang disambut oleh malaikat, setelah itu diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun turunnya sesuai kejadian dan peristiwa sejak Nabi diangkat menjadi rasul hingga wafat.

Ibnu Abbas juga berkata “Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar, kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun,” kemudian Ibnu Abbas membaca QS. Al-Israa’ 106

$ZR#uäöè%ur çm»oYø%tsù ¼çnr&tø)tGÏ9 ’n?tã Ĩ$¨Z9$# 4’n?tã ;]õ3ãB çm»oYø9¨“tRur WxƒÍ”\s? ÇÊÉÏÈ

  1. Dan Al Quran itu Telah kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian.[9]

Keempat, Menurut asy-Sya’bi al-Qur’an mula-mula turun pada malam Lailatul Qadar, setelah itu turun secara berangsur-angsur.[10]

Tidak ada pertentangan antara ayat-ayat tersebut, ketiganya menegaskan bahwa al-Qur’an memang diturunkan pada malam yang diberkahi, yakni malam Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan. Redaksi ketiga ayat tersebut, menurut sebagian ulama, seakan menyiratkan satu pemahaman bahwa al-Qur’an diturunkan sekaligus pada malam itu. Beberapa ulama berpendapat bahwa al-Qur’an memang diturunkan sekaligus, tetapi bukan langsung kepada Rasulullah Saw, Allah Swt menurunkan al-Qur’an sekaligus ke Baitul Izza, di lagit dunia, agar para malaikat menghormati kebesaran kitab suci. Kemudian al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Nabi Saw dalam kurun 23 tahun, sesuai dengan peristiwa dan kejadian-kejadian sejak beliau diutus hingga wafat.[11]

As-Suyuthy mengemukakan bahwa al-Qurthuby telah mengatakan bahwa al-Qur’an secara sekaligus adalah dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di langit pertama. Barangkali hikmah dari penurunan ini adalah untuk menyatakan keagungan al-Qur’an dan kebesaran bagi orang yang diturunkannya dengan cara memberitahukan kepada penghuni langit yang tujuh bahwa kitab yang paling terakhir sungguh telah di ambang pintu dan niscaya akan segera diturunkan.[12]

Pendapat yang kuat adalah al-Qur’an itu diturunkan dua kali:

  1. Diturunkan sekaligus pada malam Lailatul qadar dari Lauihi Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (langit dunia)
  2. Diturunkan dari langit dunia ke bumi (dalam hati Nabi) secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.[13]

As- Sumarqandi menyebutkan tiga kemungkinan yang dibawa Malaikat Jibril dalam peristiwa Nuzulul Qur’an, di antaranya:

  1. Malaikat Jibril membawa Lafazh dan sekaligus makna al-Qur’an setelah ia menghafalkannya terlebih dahulu di Lauh al-Mahfuzh.
  2. Malaikat Jibril hanya menurunkan maknanya saja, sementara verbalisasi wahyu dilakukan oleh Nabi Muhammad.
  3. Malaikat Jibril hanya menerima maknanya saja, kemuduan memverbalisasikannya ke bahawa Arab, dan para penghuni langit juga membaca dengan Arab. Selanjutnya, Malaikat Jibril menurunkannya sebagaimana mereka membacanya. [14]

Hasbi ash-Shiddieqy, mengemukakan bahwa yang dinuklirkan bukan lafazh al-Qur’an yang termaktub di Lauh Mahfuzh melainkan lafazh itu disalin dan diturunkan. Ia menganalogikan dengan orang yang menghafal isi kitab, di mana isi kitab tetap berada di dalam kitab, dan yang disalin pun persis sama seperti yang tertulis dalam kitab tersebut.[15]

Para ulama berselisih pendapat tentang nisbah lafazh al-Qur’an . segolongan ulama berkata “lafazh al-Qur’an itu di-nisbah-kan kepada Allah. Allah menjadikannya di Lauh al-Mahfuzh, mengingat firman Allah : QS. Al-Buruj 21-22

“tetapi dia (sebenarnya dia) al-Qur’an yang mulia (termaktub) di Lauh Mahfuzh

Segolongan yang lainmengatakan bahwa lafazh al-Qur’an itu adalah lafazh Jibril, QS. Al-Haqqah 40.

“bahwasanya dia (al-Qur’an) benar-benar ucapan (perkataan) pesuruh (Jibril) yang mulia”

Golongan yang ketika mengatakan bahwa lafazh al-Qur’an itu lafazhRasul sendiri. QS. Asy-Syu’ara 193-194

“Diturunkannya (al-Qur’an) oleh Ruh al-Amin kepada hatimu (jiwamu)”

Para muhaqqiq berpendapat bahwa pendapat yang mendekati kebenaran dan keagungan al-Qur’an ialah pendapat yang pertama, itulah yang lebih tepat dan lebih sesuai dengan kedudukan al-Qur’an sebagai Kalamullah dan sebagai suatu mu’jizat.[16]

 

  1. Hikmah turunnya al Qur’an secara berangsur-angsur

Al-Qur’an turun secara bertahap merupakan kehendak Allah, terutama dalam menyikapi berbagai persoalan yang muncul ditengah-tengah masyarakat saat itu. Al-Qur’an selain member bimbingan moral kepada manusia, juga menjawab persoalan-persoalan yang timbul seiring perkembangan zaman. Menurut Manna al-Qattan,diturunkanya wahyu al-Qur’an secara beranngsur-angsur tidak lain untuk menguatkan hati Rasulullah Saw dan menghiburnya.

Turunnya al-Qur’an secara bertahap kepada Nabi Saw, bukanlah tanpa tujuan. Ada beberapa hikmah dari turunnya al-Qur’an secara bertahap, yaitu sebagai berikut: [17]

  1. Meneguhkan dan menguatkan hati Rasulullah Saw

Rasulullah Saw dalam berdakwah kerapkali menghadapi gangguan dan pertentangan dari masyarakat saat itu.  Tidak sedikit di antara mereka yang ingin membunuh beliau. Hal ini merupakan tantangan berat bgi Rasulullah Saw dan tidak jarang membuatnya sedih. Oleh karena itu Allah Swt. Menurunkan firman-Nya secara bertahap agar dapat meneguhkan hati Rasulullah atas dasar kebenarn dan menguatkan keemauannya dalam menyampaikan dakwah, juga merupakan bukti bahwa Allah Swt senantiasa member perlindungan dan pembelaan kepada Rasulullah.

  1. Menjawab tantangan dan sebagai mukjizat

Orang-orang musyrikin seringkali menguji Rasulullh dengan mengajukan berbagai pertanyaan yag menurut mereka tidak akan mampu dijawab oleh beliau, pada saat seperti itu Allah menurunkan firman-Nya dan membungkap pertanyaan dan kesombongan mereka sebagai bukti bagi kebenaran Muhammad dan wahyu yang diterimanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. QS. Al-Furqaan 32-33

tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿwöqs9 tAÌh“çR Ïmø‹n=tã ãb#uäöà)ø9$# \’s#÷Häd Zoy‰Ïnºur 4 y7Ï9ºx‹Ÿ2 |MÎm7s[ãZÏ9 ¾ÏmÎ/ x8yŠ#xsèù ( çm»oYù=¨?u‘ur Wx‹Ï?ös? ÇÌËÈ Ÿwur y7tRqè?ù’tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ

  1. Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya kami perkuat hatimu dengannya dan kami membacanya secara tartil (teratur dan benar).
  2. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.[18]

 

  1. Mempermudah hafalan dan pemahaman

Allah Swt menurunkan al-Qur’an secara bertahap dengan tujuan agar al-Qur’an tidak hanya mudah dihafalkan, tetapi juga bias dipahami dan dikaji. Turunnya al-Qur’an secara bertahap tidak hanya memudahkan Rasulullah, melainkan juga memudahkan bagi pengikut-pengikutnya dalam menghafal dan memahami al-Qur’an.

  1. Kesesuaian dengan peristiwa dan penahapan dalam penetapan hukum

Setiap terjadi peristiwa yang membutuhkan penjelasan, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjadi dasar penetapan hukum. Terbentuknya dasar-dasar hokum secara bertahap merupakan bentuk kebijaksanaan Allah Swt dalam membimbing dan menyadarkan manusia. Allah Swt Maha Tahu bahwa tidak akan mungkin bangsa Arab mudah untuk mengikuti agama baru melalui Rasulullah Saw.

  1. Sebagai bukti konkrit bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt.

Al-Qur’an diturunkan secara bertahap tetapi susuan ayat-ayatnya sangat cermat, makna saling bertautan, seandainya al-Qur’an merupakan perkataan manusia, baik golongan biasa maupun pilihan, tentu akan banyak terjadi pertentangan dan ketidakserasian. Apalagi jika perkataan itu disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadin yang berbeda-beda dalam setiap waktunya.[19]

Allah Swt, menggambarkan al-Qur’an sebagai berikut:

  1. Huud 1

!9# 4 ë=»tGÏ. ôMyJÅ3ômé& ¼çmçG»tƒ#uä §NèO ôMn=Å_Áèù `ÏB ÷bà$©! AOŠÅ3ym AŽÎ7yz ÇÊÈ

  1. Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,[20]

 

  1. An-Nisa 82

Ÿxsùr& tbr㍭/y‰tFtƒ tb#uäöà)ø9$# 4 öqs9ur tb%x. ô`ÏB ωZÏã Ύöxî «!$# (#r߉y`uqs9 ÏmŠÏù $Zÿ»n=ÏF÷z$# #ZŽÏWŸ2

  1. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.[21]

 

  1. Faedah turunnya al-Qur’an secara berangsur-angsur dalam pendidikan dan pembelajaran

Proses belajar-mengajar itu berlandaskan dua asas: perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa,pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaniahnya dengan metode yang dapat membawanya ke arah kebaikan.

Hikmah turunnya al-Qur’an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut. Sebab turunnya al-Qur’an telah meningkatkan kehipan umat Islam, yang melalui tahapan-tahapan pendidikan yang mempunyai cara sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat Islam, dari kondisi lemah menjadi kuat dan tangguh.

Sistem belajar yangn tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswanya dalam tahap-tahap pengajaran dan pembinaan yang bersifat menyeluruh adalah system pendidikan yang gagal dan tidak akan member hasil ilmu pengetahuan, selain hanya menambah kebekuan dan kemunduran.

Guru yang tidak memberikan materi yang sesuai dengan porsinya, dan hanya menambah beban siswanya, tidak memperhatikan kesanggupan siswanya, sehinggah proses belajar mengajar berubah menjadi tempat yang tidak lagi disenangi.

Petunjuk ilahi tentanng hikmah turunnya al-Qur’an secara bertahap merupakan contoh paling baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode dan menyusun buku pelajaran.[22]

BAB III

PENUTUP

            Kesimpulan

Nuzulul Qur’an dapat dimaknai sebagai peristiwa proses turun atau atau diturunkannya al Qur’an.

Al-Qur’an diturunkan melalui beberapa tahap:

  1. Diturunkan sekaligus pada malam Lailatul qadar dari Lauihi Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (langit dunia)
  2. Diturunkan dari langit dunia ke bumi (dalam hati Nabi) secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.

Ada beberapa hikmah dari turunnya al-Qur’an secara bertahap, yaitu sebagai berikut:

  1. Meneguhkan dan menguatkan hati Rasulullah Saw
  2. Menjawab tantangan dan sebagai mukjizat
  3. Mempermudah hafalan dan pemahaman
  4. Kesesuaian dengan peristiwa dan penahapan dalam penetapan hukum
  5. Sebagai bukti konkrit bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt.

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan , Syeh Manna’, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005

Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Cet III, Bandung: Pustaka Setia, 2012

Ash-Shabuny, Muhammad Aly, Pengantar Studt al-Qur’an (at-Tibyan),  Cet IV, Bandung: al-Ma’arif,1996

Ash-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, ed:III Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009

As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet: XVI, Beirut,Libanon: 1985

Departemen Agama Repoblik Indonesia, AlQur’an dan Terjemahnya, Bandung: PT Diponegoro, 2008

Marzuki, Kamaluddin, ‘Ulum al-Qur’an, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.1994

Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015

 

[1] Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, Cet III,(Bandung: Pustaka Setia, 2012)h.34

[2] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.1994), h.23

[3] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h.35

[4] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), h.36

[5] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.28

[6] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.598

[7] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.496

[8] Syeh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005)h.125

[9] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.293

[10] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Cet: XVI(Beirut,Libanon: 1985)h.55

[11] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD), 2015), h.47

[12] Muhammad Aly ash-Shabuny, Pengantar Studt al-Qur’an (at-Tibyan), Cet IV, (Bandung: al-Ma’arif,1996)h.58

[13] Syeh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005)h.129

[14] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD), 2015), h.37

[15] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,ed:III (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009)h. 36

[16] Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, ed:III (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009)h. 38

[17] Rusydie Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an dan Ulumul Hadits, (Yogyakarta: IRCiSoD), 2015), h.47

[18] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.363

[19] Syeh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005)h.134

[20] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.221

[21] Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Diponegoro, 2008), h.91

[22] Syeh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2005)h.149

Sejarah Peradaban Islam “Dinasti Abbasiyah”

Standar

DINASTI ABBASIYAH

Makalah

Sejarah Peradaban Islam

Oleh:

I R M A

80200216023

 

 

Dosen Pemandu:

 

Prof. Dr. H. Ahmad Sewang, M.Ag.

Dr. Syamzan Syukur, M.Ag.

 

 

 

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2016

 BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar belakang

            Pada masa permulaan peradaban yang benar-benar membawa perubahan yang sangat besar, yang membawakan pula obor kesejahteraan dan kemanusiaan, Muhammad SAW. Ia merupakan nabi penutup daripada nabi dan rasul, serta sebagai rahmatanlil alamin bagi umat manusia dengan Islam sebagai ajaran agama yang baru. Sehingga Ia pula patut sebagai guru utama bagi pembaruan. Setelah nabi wafat ajaran tersebut disebarluaskan oleh para sahabat, tabiin dengan memegang panji Islam yang kokoh. Sehingga pasca nabi, ajaran Islampun juga disebarluaskan diseluruh penjuru dunia.

Dalam penyebaran syari’at islam pasca Rosulullah Muhammad SAW, terdapat beberapa babakan, yakni mulai langsung dari Khulafaur Rasyidin, yang dijalan kan oleh para sahabat dekat nabi (11-41 H) yakni dari Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khatab, Ustman bin Affwan, Ali bin Abi Thalib. Serta babakan Islam pada masa klasik (keemasan) yang terdapat dua penguasa besar pada saat itu, yaitu pada masa Dinasti Umawiyah dan Dinasti Abbasiyah. Pada bahasan ini, kita akan membahas lebih luas tentang Dinasti Abbasiyah yang diusungkan dari kerabat Rasulullah, yakni keluarga Abbas.

  1. Rumusan masalah
  2. Bagaimana pembentukan dinasti Abbasiyah?
  3. Bagaimana kemajuan dinasti Abbasiyah?
  4. Bagaimana kemunduran dinasti Abbasiyah?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Pembentukan dinasti Abbasiyah

Menjelang akhir dinasti Umayyah, terjadi kekacauan yang bermacam-macam antara lain:

  1. Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut Ali dan bani Hasyim pada umumnya.
  2. Merendahkan kaum muslimin non Arab sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan
  3. Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia dengan cara terang-terangan.[1]

Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama salah seorang paman Nabi Saw, yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muttalib ibn Hasyim, orang Abbasiyah merasa lebih berhak dari pada bani Umayyah atas kekhalifahan Islam, sebab mereka adalah dari cabang bani Hasyim yang secara nasab keturunan lebih dekat dengan Nabi.[2]

Cikal bakal berdirinya dinasti Abbasiyah pada dasarnya di mulai pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke-9) pada dinasti Umayyah. Hal ini dimungkinkan karena kebijaksanaan beliau dalam menciptakan iklim kondusif dalam kehidupan berdemukrasi. Akibatnya rakyat memiliki kebebasan untuk berekspresi, sehingga dimanfaatkan sejumlah oposan untuk memprogandakan dinasti Abbasiyah. Situasi ini diperparah setelah beliau wafat diganti oleh khalifah yangn kuallitasnya beradah dibawah kualitas Umar bin Abdul Aziz. Ketika dinasti Umayyah runtuh, maka berdirilah dinasti Abbasiyah

Salah satu faktor yang memuluskan pembentukan dinasti ini adalah kemampuan diplomasi mereka yang meyakinkan, bahwa mereka ini adalah

 

keluarga dekat Nabi Saw, lebih dari itu isu yang ditiupkan dalam kampanye adalah komitmen untuk kembali menegakkan syariat Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, ini dapat dilihhat dari pidato politik yang disampaikan oleh Abu Abbas al-Saffah.

Saat dibaiat, pada awal pidatonya al-Saffah memaparkan kesaliman dan penyelewengan yang dilakukan bani Umayyah. Kemudian dilanjutkan “sesungguhnya aku berharap kalian tidak akan lagi diidatangi kezaliman, pada saat kebaikan telah dating kepadamu tidak pula kehancuran setelah datangnya kebaikan”. Setelah memaparkan pidato politiknya, salah seorang pamannya berdiri dan berorasi “Demi Allah gerakan kami dilakukan tidak dilatarbelakangi oleh keinginan mengumpulkan harta, menggali sungai, membangun istana yang megah, dan menimbun emas dan perak, tetapi kami berbuat sebagai wujud protes atas sikap bani Umayyah yang telah merampok hak-hak kami, dan hak-hak keluarga Abi Thalib. Olehnya itu kami akan mengembalikan hak-hak tersebut dan kami bertekad untuk menegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah.” Ada tiga tempat sebagai sentral kegiatan menuju terbentuknya Daulah bani Abbasiyah yaitu Humaimah, Khufah dan Khurasan. Pada kawasan Humaimah bermukim keluarga bani Hasyim yang terdiri dari pendukung keluarga Abbas dan ‘Ali ra. Sementara di Khufah bermukim para penganut Syi’ah yang sangatt mengagungkan ‘Ali sehingga selalu mendapatkan perlakuan tidak bersahabat, bahkan ditindah oleh bani Umayyah. Lain lagi di Khurasan yang penduduknya pemberani dan memiliki postur tubuh yang besar, tidak mudah terpengaruh informasi yang tidak jelas.

Sejarawan lain mengatakan bahwa pendirian dinasti Abbasiyah di mulai dengan gerakan revolusioner tersebut sebagai wujud kekecewaan rakyat khususnya kelompok Mawali. Kekecewaan tersebut akibat perlakuan tidak adil yang dilakukan dinasti Umayyah, diperparah lagi timbulnya desintegrasi antara suku dan etnis dalam masyarakat, sehingga masyarakat mengharapkan sosok pemimpin yang baru.

 

Hasan Ibrahim Hasan, secara khusus mengedepankan dua faktor yang menjadi penyebab berdirinya dinasti Abbasiyah, antara lain:

  1. Sikap politik yang ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz, yang meletakkan dasar demokrasi kepada penduduk sehingga melahirkan iklim kondusif untuk berbeda pendapat yang pada akhirnya melahirkan kelompok oposisi tanpa tekanan dari pihak khalifah.
  2. Pertentangan kelompok Kisaniyah dan ‘Alawiyah di bawah pimpinan Abu Hasyim bin Mahmud al-Hanifiah kepada bani Umayyah, Abu Hasyim, menemui Hisyam bin Abd al-Malik (Khalifah ke-11 bani Umayyah). Pada pertemuan tersebut Abu Hisyam diracun oleh Khalifah Hisyam, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Abu Hasyim pergi menemui ‘Ali bin Abdillah bin Abbas dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Karrena peristiwa tersebut kedua kelompok (Kisanyiah dan Alawiyah) bersatu dan menentang dinasti Umayyah yang berimbas lahirnya gerakan Hasyimiah sebagai gerakan lahirnya dinasti Abbasiyah[3]

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan strategi yang cukup matang sebagai gerakan rahasia. Akan tetapi, Imam Ibrahim pemimpin Abbasiah yang berkeinginan mendirikan kekuasaan, gerakannya diketahui oleh khalifah Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad. Ibrahim akhirnya tertangkap oleh pasukan dinasti Abbasiyah dan dipenjarakan di Haran dan kemudian dieksekusi. Ia mewasiatkan kepada Abul Abbas menggantikan kedudukannya ketika tahu bahwa ia akan terbunuh, dan memerintahkan pindah ke Khufa. Sedangkan pemimpin propaganda dibebankan kepada Abu Salamah. Segera Abul Abbas pindah dari Humaimah ke Khufa diiringi para pembesar Abbasiah yang lain seperti Abu Ja’far, Isa bin Musa, dan Abdullah bin Ali.

Penguasa Umayyah Yazid bin Umar bin Hubairah di Khufa berhasil ditaklukan oleh Abbasiyah, Abdullah bin Ali, salah seorang paman Abul Abbas diperintahkan untuk mengejar khalifah Umayyah yang terakhir, Marwan bin Muhammad. Ia melarikan diri hingga ke Fustat Mesir, dan akhirnya terbunuh di Busir, wilayah al-Fuyyum tahun 132 H/750 M. di bawah pimpinan Salih bin Alli, paman Abul Abbas yang lain.[4]

  1. Kemajuan dinasti Abbasiyah

Berdirinya dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah pertamanya Abul Abbas al-Shaffah dengan kekuasaan awalnya di Khufah. Bani Abbasiyah mewarisi imperium yang besar dari bani Umayyah, mereka memungkinkan dapat mencapai hasil lebih banyak karena landasannya sudah dipersiapkan oleh bani Umayyah.

Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu selama lima abad. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi empat periode:

  1. Masa Abbasiyah I, yaitu semenjak lahirnya dinasti Abbasiyah tahun 132 H (750 M), sampai meninggalnya khalifah al-Watsiq 232 h (847 M)
  2. Masa Abbasiyah II, yaitu khalifah al-Mutawakkil pada tahun 232 H (847 M) sampai berdirinya daulah Buwaihiya di Baghdad pada tahun 334 H (946 M)
  3. Masa Abbasiyah III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun 334 H (946 M) sampai masuknya kaum Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M)
  4. Masa Abbasiyah IV, yaitu masuknya orang-orang Saljuk ke Baghdad tahun 447 H (1055 M) sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan pada tahun 656 H (1258 M).[5]

Sebelum Abul Abbas al-Shaffah meninggal, ia sudah mewasiatkan penggantinya, yakni saudaranya, abu Ja’far, kemudian Isa bin Musa, keponakannya. Sistem pengumuman putra mahkota ini mengikuti cara dinasti Umayyah. Para khalifah Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, di antaranya:

1.Abul ‘Abbas al-Safaah (tahun 133-137 H/750-754 M)
2.Abu Ja’far al-Mansyur (tahun 137-159 H/754-775 M)
3.Al-Mahdi (tahun 159-169 H/775-785 M)
4.Al-Hadi (tahun 169-170 H/785-786 M)
5.Harun al-Rasyid (tahun 170-194 H/786-809 M)
6.Al-Amiin (tahun 194-198 H/809-813 M)
7.Al-Ma’mun (tahun 198-217 H/813-833 M)
8.Al-Mu’tashim Billah (tahun 218-228 H/833-842 M)
9.Al-Watsiq Billah (tahun 228-232 H/842-847 M)
10.Al-Mutawakil ‘Ala al-Allah (tahun 232-247 H/847-861 M)
11.Al-Muntashir Billah (tahun 247-248 H/861-862 M)
12.Al-Musta’in Billah (tahun 248-252 H/862-866 M)
13.Al-Mu’taz Billah (tahun 252-256 H/866-869 M)
14.Al-Muhtadi Billah (tahun 256-257 H/869-870 M)
15.Al-Mu’tamad ‘Ala al-Allah (tahun 257-279 H/870-892 M)
16.Al-Mu’tadla Billah (tahun 279-290 H/892-902 M)
17.Al-Muktafi Billah (tahun 290-296 H/902-908 M)
18.Al-Muqtadir Billah (tahun 296-320 H/908-932 M)

19.Al-Qahir Billah (tahun 320-323 H/932-934 M)
20.Al-Radli Billah (tahun 323-329 H/934-940 M)
21.Al-Muttaqi Lillah (tahun 329-333 H/940-944 M)
22.Al-Musaktafi al-Allah (tahun 333-335 H/944-946 M)
23.Al-Muthi’ Lillah (tahun 335-364 H/946-974 M)
24.Al-Thai’i Lillah (tahun 364-381 H/974-991 M)
25.Al-Qadir Billah (tahun 381-423 H/991-1031 M)
26.Al-Qa’im Bi Amrillah (tahun 423-468 H/1031-1075 M)
27. Al Mu’tadi Biamrillah (tahun 468-487 H/1075-1094 M)
28. Al Mustadhhir Billah (tahun 487-512 H/1094-1118 M)
29. Al Mustarsyid Billah (tahun 512-530 H/1118-1135 M)
30. Al-Rasyid Billah (tahun 530-531 H/1135-1136 M)
31. Al Muqtafi Liamrillah (tahun 531-555 H/1136-1160M)
32. Al Mustanjid Billah (tahun 555-566 H/1160-1170 M)
33. Al Mustadhi’u Biamrillah (tahun 566-576 H/1170-1180 M)
34. An Naashir Liddiinillah (tahun 576-622 H/1180-1225 M)
35. Adh Dhahir Biamrillah (tahun 622-623 H/1225-1226 M)
36. Al Mustanshir Billah (tahun 623-640 H/1226-1242 M)
37. Al Mu’tashim Billah ( tahun 640-656 H/1242-1258 M)

Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai kejayaannya pada masa Abbasiyah. Hal tersebut dikarenakan Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah.[6]

Abad X Masehi disebut abad pembangunan daulah islamiyah di mana Dunia Islam, mulai Cordova di Spanyol sampai ke Multan di Pakistan mengalami pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium, dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[7]

Dasar-dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tuju khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M, al-Hadi (785-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mum (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulao meningkat dan peningkatan dari sector pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan, Bashrah menjadi pelabuhan penting.

Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalidah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, permandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-bukku asing digalakkan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dan perpustakaan yang besar, pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberikan peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti masa dinasti Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktik orang-orang muslim mengikuti perang sudah berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Abbasiyah sangat kuat.[8]

Pada awalnya ibu kota Negara adalah Al-Hasyimiyah dekat Kufah. Namun untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas Negara yang baru berdiri itu al-Manshur memindahkan ibu kota Negara ke kota yang baru dibangunnya, Baghdad pada tahun 762 M. Al-Manshur sangat teliti cermat dan teliti, sebelum ibu kota dipindahkan ia menugaskan beberapa ahli untuk meneliti keadaan daerah tersebut.

Dengan demikian , dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad sangat maju sebagai pusat kota peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Beberapa kemajuan dalam bidang kehidupan dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. Bidang Agama
  2. Fiqh:
  • Imam Abu Hanifah (700-767 M).
  • Imam Malik (713-795 M).
  • Imam Syafi’i (767-820 M).
  • Imam Ahmad bin Hambal (780-855 M).
  1. Ilmu Tafsir:
  • Ibnu Jarir Ath-Thabari.
  • Ibnu Athiyah al-Andalusi.
  • Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani
  1. Ilmu Hadits:
  • Imam Bukhari (194-256 H)
  • Imam Muslim (w. 261 H)
  • Ibnu Majah
  • Abu Dawud
  • Imam an-Nasai
  • Imam Baihaqi
  1. Ilmu Kalam:
  • Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi
  • Washil bin Atha, Abu Husail (w.849 M)
  • Al-Juba’i
  1. Ilmu Bahasa:
  • Imam Sibawaih (w.183 H)
  • Al-Kiasi
  • Abu Zakaria al-Farra
  1. Bidang Umum
  2. Filsafat
  • Abu Ishaq Al-Kindi (809-873 M) Karyanya lebih dari 231 judul.
  • Abu Nasr al-Farabi (961 M) Karyanya lebih dari 12 buah buku. Ia memperoleh gelar al-Mu’allimuts Tsani (the second teacher), yaitu guru kedua, sedang guru pertama dalam bidang filsafat adalah Aristotele.
  • Ibnu Sina (980-1037 M) , terkenal dengan Avicenna (980-1037 M). Ia seorang filsuf yang menghidupkan kembali filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato. Selain filsuf Avicenna juga seorang dokter istana kenamaan. Diantara bukunya yang terkenal adalah Asy-Syifa, dan Al-Qanun fi Ath-Thib (Canon of Medicine).
  • Ibnu Bajah (w.581 H)
  • Ibnu Tufail (w.581 H) penulis buku novel filsafat Hayy bin Yaqdzan.
  • Al-Ghazali (1058-1111 M) Al-Ghazali mendapat julukan Al-Hujjatul Islam, karyanya antara lain: Maqasid al-Falasifah, Al-Munkid Minadh Dhalal, Tahafut Al- Falasifah, dan Ihya Ulumuddin.
  • Ibnu Rusyd (1126-1198 M) Ia seorang filsuf, dokter dan ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falasifah, Al-Kuliah fi Ath-Thib, dan Bidayah al-Mujtahid.
  1. Ilmu kedokteran
  • Abu Zakariah Yahya bin Mesuwaih (w.242 H) seorang ahli farmasi di rumah sakit Jundishapur Iran.
  • Abu Bakar ar-Razi (864-932 M) dikenal sebagai “Ghalien Arab”.
  • Ibnu Sina(Avicenna), karyanya yang terkenal adalah Al-Qanun fi Ath-Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.
  • Ar-Razi, adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles (campak), Ar-Razi adalah penulis buku tentang kedokteran anak.
  1. Matematika

Terjemahan dari buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika Islam yang terkenal adalah Al-Khawarizmi, ia adalah pengarang kitab Al-Jabar wal Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol.Sedangkan angka latin: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka Arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal angka Romawi I, II, II, IV, V dan seterusnya.

Tokoh lain adalah Abu Al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin Al-Abbas (940-998) terkenal sebagai ahli ilmu matematika.

  1. Farmasi
  • Ibnu Baithar karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami Al-Mufradat Al-Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).
  1. Ilmu Astronomi
  • Abu Mansur al-Falaki (w.272 H) Karyanya yang terkenal adalah Isbat Al-Ulum dan Hayat Al-Falak.
  • Jabil al-Batani (w.319 H) Ia adalah pencipta teropong bintang pertama. Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai Al-Falak.
  • Raihan al-Biruni (w.440 H) Karyanya adalah At-Tafhim li Awal As-Sina At-Tanjim.
  1. Geografi
  • Abu Hasan al-Mas’udi (w.345 H/956 M) seorang penjelajah yang mengadakan perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj Az-Zahab wa Ma’adin Al-Jawahir.
  • Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli geografi Islam tertua.di antara karyanya adalah Masalik wa Al-Mamalik, tentang data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.
  • Ahmad el-Yakubi penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke Armenia, Iran, India, Mesir, Maghribi, dan menulis buku Al-Buldan.
  • Abu Muhammad al-Hasan al-Hamadani (w.334 H/946 M) karyanya berjudul Sifatu Jazirah Al-Arab.
  1. Sejarah
  • Ahmad bin al-Ya’kubi (895 M) karyanya adalah Al-Buldan (negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah).
  • Ibnu Ishaq
  • Abdullah bin Muslim al-Qurtubah (w.889 M)
  • Ibnu Hisyam
  • Ath-Thabari (w.923 M)
  • Al-Maqrizi
  • Al-Baladzuri (w.892 M)
  1. Sastra
  • Abu Nawas, seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.
  • An-Nasyasi, penulis buku Alfu Lailah wa Lailah (the Arabian Night), adalah buku cerita Seribu Satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam hampir seluruh bahasa dunia. [9]
  1. Kemunduran dinasti Abbasiyah

Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat pemerintahan dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawah sungai Tigris, setelah kota itu dibumuhanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulagu Khan pada tahun 1258 M. semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan Mongol meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gudang ilmu, dan membakar buku-buku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M. kota ini diserang juga oleh pasukan Timur  Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh tentara Kerajaan Safawi.

Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran pada masa daulah Abbasiyah adalah sebagai berikut:

  1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
  2. Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
  3. Keuangan negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Bagdad.[10]

Sedangkan menurut Badri Yatim, di antara hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut:

  1. Persaingan Antar Bangsa

Khilafah Abbasiyah yang didirikan Bani Abbas bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi persamaan nasib semasa kekuasaan Bani Umayyah. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah abbasiyah berdiri, persekutuan tetap dipertahankan. Pada masa ini persaingan antar bangsa memicu untuk saling berkuasa. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.

  1. Kemerosotan Ekonomi

Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Abbasiyah merupakan pemerintahan yang kaya. Dan yang masuk lebih besar daripada pengeluaran, sehingga baitul mal penuh dengan harta. Setelah khilafah mengalami periode kemunduran, negara mengalami defisit anggaran, dengan demikian terjadi kemerosotan ekonomi.

  1. Konflik Keagamaan

Konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra pada masa khilafah Abbasiyah, sehingga mangakibatkan perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlussunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai faham keagamaan yang ada.

  1. Ancaman dari luar

Selain yang disebutkan daiatas, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran dinasti Abasiyah lemah dan hancur.

  • Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang menelan banyak korban. Konsentrasi dan perhatian pemerintah Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara salibsehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
  • Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah kepada kekuatan Mongol.[11]

 

 

 


BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

      Hasan Ibrahim Hasan, secara khusus mengedepankan dua faktor yang menjadi penyebab berdirinya dinasti Abbasiyah, antara lain:

  1. Sikap politik yang ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz, yang meletakkan dasar demokrasi kepada penduduk sehingga melahirkan iklim kondusif untuk berbeda pendapat yang pada akhirnya melahirkan kelompok oposisi tanpa tekanan dari pihak khalifah.
  2. Pertentangan kelompok Kisaniyah dan ‘Alawiyah di bawah pimpinan Abu Hasyim bin Mahmud al-Hanifiah kepada bani Umayyah, Abu Hasyim, menemui Hisyam bin Abd al-Malik (Khalifah ke-11 bani Umayyah). Pada pertemuan tersebut Abu Hisyam diracun oleh Khalifah Hisyam, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Abu Hasyim pergi menemui ‘Ali bin Abdillah bin Abbas dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Karrena peristiwa tersebut kedua kelompok (Kisanyiah dan Alawiyah) bersatu dan menentang dinasti Umayyah yang berimbas lahirnya gerakan Hasyimiah sebagai gerakan lahirnya dinasti Abbasiyah[12]

Dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya, makmur, sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap gulita, bodoh dan primitif. Dunia Islam telah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium; dunia barat masih asyik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam.[13]

Hal yang menyebabkan kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah:

  1. Kemerosotan Ekonomi
  2. Konflik Keagamaan
  3. Ancaman dari luar
  4. Persaingan Antar Bangsa

 

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009

Dahlan, M, Sejarah Peradaban Islam, Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013

Karim , M.Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publusher

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik ,Cet V, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011

 

[1] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik ,Cet V, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015)h.47

[2] M.Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publusher) h.143

[3]M  Dahlan, Sejarah Peradaban Islam, (Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013) h.58

[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,Cet III,(Jakarta: Amzah, 2013)h.139

[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam,Cet III,(Jakarta: Amzah, 2013)h.141

[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 144.

[7] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 54.

[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),h.53

[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h.148

[10] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009) h.155

[11] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),h. 80-85.

[12]M  Dahlan, Sejarah Peradaban Islam, (Makassar: Alauddin Uiniversity Press, 2013) h.58

[13] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004) h. 54.